Wednesday, February 07, 2007

Emas dari Bulu Daun Pisang

Aheng berdiri mematung di pintu masuk rumah mertuanya. Tiada kata-kata yang bisa dibunyikan dari lidahnya yang kelu. Lima tahun! Betul, lima tahun kerja kerasnya. Dan bulir-bulir air seperti bocor merembes keluar dari matanya.

Di hadapannya, berdiri dengan anggun istrinya yang berpakaian indah beserta putri kecilnya yang sudah bukan balita yang hampir tak dikenalinya. Dan tepat berada di antara mereka, setumpuk emas. Setumpuk emas yang selalu jadi pikirannya, impian resah di kala malam yang membuatnya gundah gulana.

"Inilah emasmu...," kata bapak tua di belakang Aheng, sambil menepuk pundaknya, yang bukan lain adalah bapak mertuanya.

Aheng terjatuh berlutut. Mendadak ia pingsan.

..... ..... .....

Lima tahun lalu, di suatu pagi yang muram, Aheng juga berada di tempat sekarang ia berada. Di dalam ruang tamu mertuanya. Mereka saling menatap lama tanpa berkata-kata, sampai bapak mertuanya itu buka suara.

"Aheng..., aku mendengar engkau tiap hari tiada kerjaan selain mencoba mengubah bahan-bahan menjadi emas." Demikian tatapan mata mertuanya menjadi lekat. Aheng menunduk. Ia tahu istrinya telah datang melapor ke bapaknya setelah cekcok nasi tidak ada di rumah, periuk kosong dan dapur tidak berasap.

Memang sudah sekian bulan, Aheng mencoba meramu; meramu berbagai bahan sebagai percobaannya untuk membuat emas. Setiap membuat dan gagal, tidaklah mematahkan semangatnya. Dari satu percobaan ke percobaan lain, ia merasa ia semakin dekat dengan apa yang didambakannya. Dan tiap hari, setiap pagi sampai matahari terbenam, kerjaannya tiada lain memang melakukan eksperimennya, yang ia yakin suatu saat akan membuatnya kaya raya. Dan ketika malam datang, pikirannya hanya satu--ia hanya melamunkan dan menata ulang apa yang harus dilakukannya besok dengan eksperimen berikutnya. Tentu saja ia tidak mempunyai penghasilan untuk dapurnya, dan uang simpanannya makin habis sampai suatu saat ketika ia dan istrinya cekcok.

Aheng, dalam hatinya ia tahu ia telah melalaikan kewajiban nafkahnya. Maka ketika bapak mertuanya menanyakan persoalan itu secara langsung, Aheng menundukkan mukanya. Tetapi berbeda dengan reaksi yang diharapkan Aheng dari mertuanya, bapak tua itu tidak ada nada marah dalam pertanyaannya. Kemudian agak ragu ia mengangguk, dua kali. Tentu saja hatinya agak heran dengan sikap mertuanya itu yang seharusnya mengomelinya.

"Aheng..., aku telah menemukan caranya!", mertuanya berkata begitu keras dan bersemangat hingga mengejutkannya.

"Aa..apaa?", Aheng agak kaget. Selain perkataan mertuanya yang penuh semangat, juga agak kaget atas apa yang hendak disampaikan mertuanya itu.

"Aku sudah tahu karena aku sudah menemukan cara membuat emas!", semangat benar orang tua itu dengan mata yang berbinar-binar, sayangnya kemudian meredup, "Hanya sajaa....."

"Astaga, apa kata Bapak?" Aheng yang mulai semangat. Selain tidak diomeli, ia tiba-tiba bergairah sekali ingin mengetahui perkataan mertuanya itu.

"Hanya saja aku sudah terlalu tua untuk mengumpulkan bahannya," kata orang tua itu lirih.

"Astaga, Bapak! Katakanlah kepadaku. Biarkan aku yang mengumpulkannya," Aheng merasa seperti menemukan setitik cahaya di dalam kegelapan, merasa beban berat yang menghimpit pikirannya terangkat.

"Bulu daun pisang."

"Berapa banyak?" tanya Aheng

"Cukup tiga kilo," Bapak mertuanya sambil mengangkat tiga jari tengah tangannya.

Aheng mengerutkan alisnya. Ia menatap mata mertuanya mencari kebohongan di dalamnya. Tetapi ia tahu, bapak mertuanya adalah tokoh yang dihormati dan disegani di desanya. Tidak mungkin bapak mertuanya itu berbohong. Orang-orang desa bahkan selalu meminta nasehat dan petunjuk bapak mertuanya itu, karena kebijaksanaannya. Dan ia melihat sinar mata yang meyakinkannya. Sinar mata yang seperti menerangi relung-relung gelap beban pikirannya.

..... ..... .....

Bahkan tidak menunggu besok, Aheng benar-benar langsung bekerja keras. Ia pulang saat itu juga ke rumahnya dan menggarap kebunnya yang lama tidak terurus untuk menanam pisang. Hari demi hari dirawatnya kebun itu sesungguh hatinya. Ia seperti tidak perduli keadaan sekitarnya. Ia bahkan jarang mengurusi istrinya. Bahkan putrinya yang kecil jarang dipeluknya. Yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana menjaga semua pohon pisang miliknya sempurna agar bulu daun pisang bisa diperolehnya maksimal. Tak usah dibilang lagi apakah ia perduli pada dirinya sendiri juga.

Ia memanen bulu pada daun pisang itu dengan hati-hati, dan dikumpulkannya serta ditimbangnya untuk diserahkan kepada mertuanya. Tiga kilo. Tiga kilo. Tiga kilo. Dan sedikit demi sedikit ia menumpuk bulu daun pisang itu.

Ketika hujan dan panas silih berganti, hatinya yang penuh kuatir selalu mencemaskan pohon-pohon pisang di kebunnya. Begitu telaten dan rajin ia merawat kebun itu demi emas yang akan diramu oleh mertuanya.

..... ..... .....

"Aku sudah mengumpulkannya. Tiga kilo. Tepat seperti yang Bapak minta." Aheng berdebar-debar. Lima tahun sudah ia mengumpulkannya. Rambutnya awut-awutan panjangnya dan dipotong tanpa perduli gaya. Demikian jenggot dan cambangnya telah secara lebat menghiasi muka kurusnya. Istrinya memang pernah mengingatkannya untuk mengurusi dirinya. Namun tidak pernah digubrisnya. Bagaimana mengumpulkan bulu-bulu daun pisang itu lebih penting.

"Tunggu di sini sebentar," perintah mertuanya untuk Aheng agar menunggu di depan pintu rumah mertuanya tersebut. Orang tua itu membawa semua bulu pisang itu masuk ke dalam rumahnya, menutup pintu, sementara Aheng makin cemas. Setiap detik menambah cepat detakan jantungnya. Apakah mertuanya berbohong? Apakah emasnya akan benar-benar ada? Apakah kerja kerasnya selama ini ada hasilnya? Bagaimana kalau mertuanya gagal meramu dan membuatnya? Apakah ia harus mengulangi mengumpulkan lagi?

Tetapi kemudian, pintu rumah mertuanya itu terbuka.

"Masuk!" kata bapak tua itu.

..... ..... .....

"Astaga...astaga....astaga....," kata-kata pertama Aheng sesudah sadar. Segala bebannya lepas sudah. Ia sudah membuat emas pertamanya. Berhasil. Mertuanya benar-benar hebat dan sakti. Ia melirik ke arah tumpukan emas itu lagi. Ia mengambil dan menguji emas itu dengan menggigitnya. Ia memeluk emas-emas itu. Segala tindakan euforia. Sampai kemudian ia benar-benar tersadar. Ada satu hal yang menjadi pertanyaan paling besar di sini.

"Bapak! Katakan kepadaku bagaimana mengubah bulu-bulu daun pisang itu menjadi emas. Aku sudah bekerja begitu keras. Aku sudah melakukan segalanya. Aku ingin tahu. Beritahukanlah kepadaku!" Aheng memegang kedua bahu orang tua itu dengan kencang.

"Tanyakan kepada istrimu," jawab orang tua itu tersenyum-senyum.

"Apaaaa?" Aheng berteriak tidak percaya!

"Tanyakan kepada istrimu," kata orang tua itu, masih tersenyum-senyum.

Aheng agak gusar. Masa selama ini istrinya sudah tahu, tetapi dirinya tidak dikasih tahu. Ia menatap marah pada istrinya.

"Aheng, suamiku...... Ini semua adalah emasmu. Karna engkau merawat pohon-pohon pisang itu dengan sangat baik, buah-buah pisang yang tumbuh adalah kualitas yang terbaik. Setiap kali aku memanennya, aku menjualnya dengan harga tinggi. Dari hasil penjualannya selama lima tahun, dengan berhemat, inilah bagaimana emasmu muncul....!" istrinya menjawabnya dengan bahagia.

"Aaaaaarrrrrrgggghhhhhhh.....!" dan Aheng pingsan lagi.


(disadur dari berbagai sumber, terutama cerita rakyat Thailand)

Tuesday, September 12, 2006